oleh: P. William P. Saunders *
Saya menonton film “Exorcist”. Dapatkah setan benar-benar merasuki seseorang? Apakah Gereja sungguh mempraktekkan eksorsisme?
Setan dan roh-roh jahat memang sungguh dapat merasuki seseorang. Kata “eksorsisme” berasal dari kata Latin “exorcizare” yang berarti “mengusir” atau “menghalau”. Dalam Perjanjian Baru diceritakan beberapa kisah kerasukan setan dan Tuhan kita melakukan eksorsisme atau mengusir setan-setan dan roh-roh jahat tersebut. Sebagai contoh, Yesus mengusir roh-roh jahat (yang menyebut diri sebagai “Legion”) di Gerasa. Orang yang kerasukan roh jahat itu begitu kuat hingga dapat memutuskan rantai yang membelenggunya serta menghancurkannya. Pada akhirnya, roh-roh jahat itu memasuki kawanan babi serta membinasakan mereka (bdk Mrk 5:1-20). Dalam setiap kisah pengusiran setan, kita melihat bahwa Kristus dengan penuh kemenangan menaklukkan iblis dan roh-roh jahat.
Kristus juga memberikan kuasa kepada para Rasul untuk mengusir roh-roh jahat dalam nama-Nya, “Yesus memanggil kedua belas murid-Nya dan memberi kuasa kepada mereka untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk melenyapkan segala penyakit dan segala kelemahan” (Mat 10:1). Praktek eksorsisme dicatat dalam tulisan-tulisan para Bapa Gereja awali, termasuk St Yustinus, Martir (wafat 165), Tertulianus (wafat 230) dan St Sirilus dari Yerusalem (wafat 386). Sepanjang abad, Gereja mendokumentasikan dengan baik kasus-kasus kerasukan setan dan eksorsisme, termasuk kasus yang menjadi dasar cerita film “Exorcist” (walau baik Hollywood maupun bukunya tidak mengisahkannya tepat seperti fakta yang sesungguhnya).
Berdasarkan data biblis dan dasar historis seperti di atas, kita dapat membahas masalah ini dengan lebih baik. Pastor Jordan Aumann, O.P., seorang professor teologi spiritual yang terkemuka, menawarkan definisi sebagai berikut, “Kerasukan setan merupakan suatu fenomena di mana setan memasuki tubuh seorang yang hidup serta menggerakkan pancaindera dan anggota-anggota tubuhnya seolah ia menggunakan tubuhnya sendiri. Setan sungguh tinggal dalam tubuh korban yang malang; setan mengendalikan serta memperlakukannya sebagai miliknya sendiri. Mereka yang menderita akibat dimasuki secara paksa oleh setan disebut kerasukan setan” (Spiritual Theology, 408). Walau demikian, jiwa orang tidak dapat dimasuki atau dikuasai, dan dengan demikian tetap bebas; dalam arti, jiwa - yaitu orang itu sendiri - bagaikan dalam keadaan melayang. Paus Benediktus XIV dalam pengajarannya “De servorum Dei beatificatione, et beatorum canonizatione” memaklumkan, “Roh-roh jahat, dalam diri orang yang mereka rasuki, bagaikan motor dalam tubuh yang mereka gerakkan, namun dengan suatu cara yang begitu rupa hingga roh-roh jahat itu tak dapat menanamkan suatu sifat apa pun pada tubuh atau memberinya suatu bentuk eksistensi baru, ataupun, tepatnya, menjadi suatu makhluk tunggal, bersama orang yang dirasukinya.”
Dalam menentukan apakah seseorang dirasuki oleh setan atau roh-roh jahat, Gereja akan pertama-tama memastikan bahwa orang tersebut menjalani pemeriksaan jasmani dan kejiwaan yang seksama. Para pejabat Gereja juga akan berusaha mendapatkan tanda-tanda lain: fenomena fisik yang tak dapat dijelaskan, misalnya orang melayang atau benda-benda bergerak tanpa sebab yang jelas; orang memperlihatkan kekuatan yang melampaui batas wajar; orang mengerti dan mempergunakan bahasa-bahasa kuno yang sebelumnya sama sekali tak dikenalnya, seperti berbicara dalam bahasa Aram; orang mengetahui rahasia hidup pribadi tertentu, khususnya sang eksorsis (= pengusir setan), yang tak mungkin diketahui orang lain. Tanda lainnya adalah orang dengan keras menolak Tuhan, Bunda Maria, para kudus, salib dan gambar-gambar kudus yang diwujudkannya dalam bentuk kata-kata hujat atau tindakan-tindakan sakrilegi. Setan juga menyatakan kehadirannya melalui tindakan-tindakan angkara murka dan kekerasan, serta melalui hujat, sakrilegi, kata-kata jorok dan cabul. Uskup akan memberikan wewenang eksorsisme hanya setelah pemeriksaan yang seksama dan pertimbangan yang matang atas segala bukti, dan kemudian menunjuk seorang imam guna melakukan eksorsisme.
Ritual Romawi menetapkan suatu Ritus Eksorsisme yang meliputi serangkaian doa, berkat dan seruan pengusiran setan. (Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen menerbitkan revisi ritual eksorsisme pada tanggal 26 Januari 2000, dengan sepersetujuan Paus Yohanes Paulus II). Perlengkapan senjata kudus yang dipergunakan dalam suatu eksorsisme meliputi: menerima Sakramen Tobat, menyambut Komuni Kudus, puasa dan doa (teristimewa mendaraskan rosario), penggunaan sakramentali (seperti memberkati dengan air suci, menghadirkan salib atau gambar-gambar religius lainnya), memberkati dengan reliqui para kudus, serta menyerukan nama Tuhan Yesus, Santa Perawan Maria dan Santo Mikhael. Guna menegaskan kuasa sakramentali, St Theresia dari Avila dalam Buku Riwayat Hidupnya mengatakan, “Seringkali kualami bahwa tak ada yang membuat iblis lari terbirit-birit - tanpa pernah kembali lagi - selain dari air suci” (Bab 31); ia mengajarkan bahwa setan tak dapat tahan akan nama Yesus, salib dan air suci. Ritual eksorsisme diulangi hingga setan berhasil diusir keluar dari orang yang kerasukan, kemudian eksorsis memohon kepada Tuhan untuk jangan pernah mengijinkan setan merasuki orang itu lagi.
Sepanjang peristiwa kerasukan dan bahkan saat eksorsisme, orang yang bersangkutan tak hanya mengalami masa-masa krisis di mana pergulatan dengan iblis tampak nyata, melainkan mengalami juga masa-masa tenang di mana orang mengira bahwa kerasukan telah berakhir. Yang menarik, setelah eksorsisme, orang yang kerasukan tak lagi ingat akan apa yang terjadi selama ia dirasuki setan.
Mengapakah Tuhan membiarkan setan merasuki seseorang? Kita patut ingat bahwa kita semua berjuang melawan godaan-godaan dari penguasa dunia ini. Bagaimanapun, kita adalah korban-korban tak berdaya dari dosa asal dan kita membutuhkan rahmat Tuhan untuk melakukan segala yang baik dan kudus. Ketika ritual eksorsisme yang baru diterbitkan, Kardinal Medina, Prefect Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen memaklumkan dengan sangat tegas, “… Saya hendak menegaskan bahwa pengaruh jahat setan dan para pengikutnya biasanya dilakukan melalui dusta dan kebimbangan. Yesus adalah Kebenaran; iblis adalah bapa segala dusta. Ia memperdayakan umat manusia dengan membuat manusia percaya bahwa kebahagiaan didapatkan dalam harta, kuasa atau keinginan daging. Ia memperdayakan manusia agar berpikiran bahwa mereka tidak membutuhkan Tuhan, bahwa rahmat dan keselamatan tidaklah perlu. Ia bahkan memperdayakan manusia dengan menyamarkan perasaan berdosa atau bahkan melenyapkannya sama sekali; ia menggantikan hukum Tuhan sebagai patokan moral dengan adat atau kebiasaan mayoritas.” Karenanya, para penulis rohani beranggapan bahwa orang rentan terhadap kerasukan yang demikian, melalui, misalnya, gaya hidup yang mengakibatkan dosa berat, biasa melakukan kejahatan, berhasrat mengenal ilmu gaib dan terpikat oleh bentuk-bentuk spiritisme, magi dan sihir. Sebagai contoh, dalam kisah nyata yang menjadi dasar dari kisah “The Exorcist”, si anak, sebelum kerasukan, biasa ikut serta dalam praktek memanggil roh-roh orang mati yang dilakukan oleh bibinya, dan ia sendiri mulai bermain jaelangkung.
Mengapakah setan merasuki seseorang? Dalam buku “The Exorcist”, imam senior, Pastor Merrin, berbicara kepada Pastor Karras muda yang bertanya kepadanya, “Mengapakah gadis ini? Sama sekali tak masuk akal.” Pastor Merrin, seorang eksorsis yang berpengalaman, menjawab, “Aku pikir, tujuannya adalah membuat kita putus asa - melihat diri kita sendiri sebagai binatang yang buruk, menolak kemungkinan bahwa Tuhan dapat mengasihi kita.” Walau teks ini adalah fiksi, namun demikian pesan yang disampaikannya benar. Entah melalui kengerian dosa atau kerasukan, setan hendak mematahkan keyakinan kita bahwa Tuhan mengasihi kita lebih dari yang dapat kita bayangkan dan Tuhan bahkan bersedia mengampuni dosa apapun, asal saja kita menyesalinya dengan sungguh. Kita wajib terus-menerus berpaling kepada Allah kita, biarlah mata kita menatap lekat kepada-Nya. Kita wajib mendayagunakan perlengkapan rahmat yang Tuhan percayakan kepada Gereja-Nya, teristimewa Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi, sakramentali, seperti salib dan air suci. Doa setiap hari juga sangatlah penting, termasuk mendaraskan Doa kepada Malaikat Agung St Mikhael. Kita memiliki pengharapan yang besar, sebab Tuhan kita adalah “jalan dan kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6) yang “telah mengalahkan dunia” (Yoh 16:33). Cinta kasih Allah akan senantiasa menaklukkan yang jahat.
“The Exorcist”, baik versi buku maupun film, bertolak dari suatu kisah nyata kerasukan setan. Kita patut ingat bahwa buku, dan terutama film, memiliki unsur-unsur ala “Hollywood” yang sensasional, yang adalah fiksi belaka.
Kisah nyata yang sebenarnya bermula pada bulan Januari 1949, melibatkan seorang anak laki-laki berusia 13 tahun bernama Robbie yang tinggal bersama kedua orangtua serta neneknya di Mt. Rainier, Md (Beberapa sumber menyebutkan bahwa keluarga tersebut sebenarnya tinggal dekat Cottage City; mungkin, pihak yang berwajib bermaksud merahasiakan tempat kejadian yang sesungguhnya guna melindungi si anak). Robbie sangat akrab dengan bibinya yang seringkali mengunjungi keluarga mereka dari St. Louis, Mo. Bibinya itu seorang medium yang biasa berhubungan dengan dunia roh. Tidak saja bibinya itu membangkitkan minat Robbie akan praktek gaib ini, melainkan ia juga mengajarinya bagaimana bermain jaelangkung.
Fenomena ganjil mulai terjadi pada tanggal 10 Januari 1949. Keluarga tersebut mendengar bunyi cakaran di dinding-dinding, tetapi para petugas pembasmi tidak mendapati bukti akan adanya binatang maupun serangga pengganggu. Barang-barang bergerak dengan sendirinya: meja akan terbalik, kursi akan bergerak melintasi ruangan, jambangan akan terbang di udara dan lukisan Kristus akan bergetar. Malam hari, Robbie merasakan cakaran-cakaran di tempat tidurnya; kerap kali ia diganggu mimpi-mimpi buruk.
Sesudah kematian bibinya yang tiba-tiba pada tanggal 26 Januari, Robbie terus bermain jaelangkung untuk berkomunikasi dengannya dan dengan roh-roh lainnya. Fenomena ganjil juga terus berlanjut. Di samping itu, perangai Robbie berubah - ia menjadi kacau, gelisah dan cepat marah.
Pada bulan Februari, orangtuanya mengajak Robbie menemui pendeta Lutheran mereka, Rev. Schulze. Karena minatnya pada ilmu gaib, pendeta berpikiran bahwa mungkin suatu roh jahat sedang mengganggu keluarga tersebut. Rev Schulze mengijinkan Robbie pindah ke rumahnya untuk pemeriksaan selama beberapa hari lamanya. Pendeta melihat sendiri kursi-kursi dan benda-benda lain bergerak dengan sendirinya. Melihat tempat tidur bergoncang, ia memindahkan kasurnya ke atas lantai, di mana kasur lalu meluncur dengan sendirinya. Rev Schulze menjadi curiga akan kehadiran roh jahat.
Sesuai saran Rev Schulze, keluarganya membawa Robbie ke Klinik Kejiwaan Universitas Maryland untuk menjalani pemeriksaan. Setelah dua rangkaian pemeriksaan, tak ditemukan suatupun yang abnormal. Rev Schulze kemudian menyarankan keluarga tersebut untuk menghubungi imam Katolik setempat.
Robbie dan kedua orangtuanya menemui Pastor Hughes dari Gereja Katolik St Yakobus di Mt. Rainier. Sementara bertanya jawab dengan Robbie, Pastor Hughes melihat telepon dan benda-benda lain dalam kamar kerjanya bergerak dengan sendirinya. Robbie juga melontarkan kata-kata jorok dan hujat pada imam dalam suara yang aneh, seperti suara roh jahat. Ruangan menjadi ngeri serta menyeramkan. Pastor Hughes yakin bahwa Robbie kerasukan setan. Setelah mempelajari fakta dan juga catatan kesehatan yang ada, Kardinal O'Boyle menyetujui dilakukannya eksorsisme.
Robbie dibawa ke Rumah Sakit Georgetown di mana Pastor Hughes memulai ritual eksorsisme. Anak laki-laki itu menjadi buas, meludah dan muntah-muntah. Ia melontarkan kata-kata jorok dan hujat kepada Pastor Hughes. Walau dibelenggu di atas tempat tidur, Robbie berhasil melepaskan diri dan mencabut sebuah pegas logam yang ia cambukkan kepada Pastor Hughes dari bahu kiri hingga ke pergelangan tangannya. Dibutuhkan seratus jahitan guna menutup luka menganga di tubuh imam. Robbie tampak tenang setelah melakukan serangan ini, tak ingat akan aniaya yang ia lakukan. Robbie dilepaskan dan dihantar pulang.
Peristiwa aneh segera terjadi kembali di rumah mereka. Suatu malam, ketika Robbie sedang merapikan tempat tidurnya, tiba-tiba ia menjerit. Suatu kata berdarah telah digoreskan pada dadanya: Louis. Ibunya bertanya apakah ini artinya “St Louis”, dan suatu kata berdarah lainnya muncul: ya.
Hampir seketika itu juga, keluarga mereka berangkat untuk mengunjungi sepupu Robbie di St Louis. Fenomena ganjil yang sama mulai terjadi. Sepupunya, seorang mahasiswi di Universitas St Louis, membicarakan hal tersebut kepada salah seorang imam professor, Pastor Bishop, S.J. Imam kemudian menghubungi salah seorang sahabatnya, Pastor Bowdern, S.J., imam dari Gereja St Fransiskus Xaverius.
Kedua imam dan seorang frater Yesuit pergi mewawancarai Robbie pada tanggal 9 Maret 1949. Mereka melihat cakaran zig-zag berdarah pada dada anak itu. Mereka mendengar bunyi-bunyi cakaran. Mereka melihat sebuah lemari buku yang besar bergerak dan berputar dengan sendirinya, dan sebuah bangku bergerak melintasi ruangan. Tempat tidur Robbie bergoncang sementara ia berbaring di atasnya. Ia mencecarkan kata-kata jorok dan hujat kepada mereka. Para imam ini tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan si jahat.
Mereka mengajukan permohonan kepada Kardinal Ritter agar diijinkan melakukan eksorsisme. Setelah memeriksa semua bukti yang ada termasuk hasil pemeriksaan medis dan psikiatris, Bapa Kardinal mengabulkan permohonan mereka pada tanggal 16 Maret.
Sementara para imam memulai Ritus Eksorsisme, Robbie menjadi buas. Ia mengeluarkan suara lolongan dan geraman. Ranjang bergoncang turun naik. Di dadanya muncul cakaran-cakaran berdarah dengan kata-kata neraka dan iblis, dan bahkan gambar setan. Robbie meludahi para imam sementara ia mencecarkan kata-kata jorok dan hujat, sembari sesekali tertawa keji.
Demi keselamatannya sendiri dan keluarga, Robbie kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Alexian Brothers dan ditempatkan dalam bangsal sakit jiwa. Pastor Bowdern terus melanjutkan eksorsisme. Dengan persetujuan keluarga, Robbie dibaptis Katolik. Ketika Pastor Bowdern berusaha memberinya Komuni Kudus-nya yang Pertama, lima kali Robbi meludahi Hosti Kudus; maka mereka berhenti untuk mendaraskan Rosario, dan pada akhirnya Robbie menyambut Ekaristi Kudus.
Pada tanggal 18 April, Senin Paskah, eksorsisme mencapai puncaknya. Sementara Pastor Bowdern melanjutkan ritual, setan mengenali kehadiran Malaikat Agung St Mikhael; roh jahat itu dihalau keluar dari Robbie. Suatu suara seperti ledakan terdengar menggema di seluruh rumah sakit. Setelah segala aniaya roh jahat ini, Robbie sama sekali tak ingat akan peristiwa kerasukan setan ini, kecuali penampakan St Mikhael. Yang menarik, The Washington Post pada tanggal 20 Agustus 1949 memuat berita di halaman depan dengan judul, “Imam Membebaskan Seorang Anak Mt. Rainier yang Dilaporkan Berada dalam Cengkeraman Iblis.”
Sudah pasti, kisah ini amat menyeramkan, tetapi benar adanya. Perlu dicatat juga bahwa tak peduli efek-efek sensasional apapun yang mungkin ditambahkan Hollywood dalam filmnya, namun demikian semua itu tak dapat dibandingkan dengan kengerian sesungguhnya atas kehadiran nyata roh jahat dalam fenomena kerasukan setan.
Jadi, menanggapi pertanyaan pembaca, jawabnya adalah ya, iblis dapat benar-benar merasuki seseorang, dan ya, Gereja memang mempraktekkan eksorsisme. Berjaga-jagalah! Jauhi segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu gaib, termasuk jaelangkung. Gunakanlah perlengkapan senjata kudus yang melindungi kita dari yang jahat, yaitu doa, Misa, Komuni Kudus, taat pada perintah Allah dan ajaran-ajaran Gereja, serta kerap menerima Sakramen Tobat. Jika kita mengandalkan perlengkapan senjata kudus ini demi mendapatkan rahmat-rahmat Tuhan, maka kita tak perlu khawatir: kasih Tuhan akan senantiasa menang atas yang jahat.
0 komentar:
Posting Komentar
Just Happy